Selasa, 15 Juli 2008

Sampah Kaleng mau diapakan yah??



Gimana sih cara memanfaatkan sampah kaleng ?? Salah satu jawabannya adalah untuk menanam sayur mayur. Dengan begitu sampah di Bandung akan berkurang dan membantu mencari peluang bisnis.
Contoh cerita di bawah ini patut ditiru di Indonesia ini.
Selamat membaca dan mencoba.

Sumber : http://www.trubus-online.co.id/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=12&artid=1141

Kaleng bekas biasa dibuang ke tong sampah. Namun, tidak bagi Kasino, pekebun sayuran di Tandes, Surabaya, Jawa Timur. Ia mengumpulkan kaleng-kaleng bekas berukuran 5 kg sebagai bahan vertikultur alias budidaya tanaman sistem bertingkat.

Pemandangan itu sungguh kontras. Di sudut kebun seluas 700 m2, kaleng-kaleng bekas menggunung; 200 m dari tumpukan itu tampak panorama hijau segar. Sepuluh kaleng disusun vertikal setinggi 2 m dan diperkuat dengan bambu. Seledri tumbuh subur di setiap ‘lubang tanam’ di dinding kaleng. Selain seledri, Kasino juga membudidayakan beberapa sayuran lain seperti bawang daun, cabai, sawi, dan tomat. Total jenderal ia menanam 30 sayuran berteknologi vertikultur.

Gagasan membikin vertikultur kaleng itu muncul lantaran Kasino dan Dadang Permadi prihatin sektor agribisnis kurang diminati. ‘Perlu inovasi dan menciptakan teknologi baru dalam bercocok tanam agar pertanian kembali dilirik,’ kata Kasino. Oleh karena itu sejak awal 2007 mereka merancang vertikultur di lahan 700 m2. Lokasi itu semula hanya ditumbuhi semak belukar. Mula-mula Kasino mencari kaleng cat bekas dan es krim berdiameter 15 cm

Pria kelahiran 14 Oktober 1957 itu menggunakan campuran sekam mentah, serbuk gergaji, dan kompos, serta tanah sebagai media tanam sayuran. Kasino menyebut tiga media pertama sebagai otek alias organik tepat guna. Perbandingannya 1:1:1:1. Untuk komoditas umbi-umbian ia memanfaatkan campuran otek, sekam bakar, dan sekam mentah dengan perbandingan 1:1:1. Khusus untuk padi, ia memilih sekam mentah, serbuk gergaji, dan kompos untuk media tanam.

20 kg/m2
Vertikultur memang bukan hal baru di tanahair. Sejak 1990-an teknologi budidaya itu sudah diterapkan. Umumnya pekebun menggunakan bambu, polietilenchlorida (PVC), dan pot. Namun, Kasino justru memanfaatkan barang bekas. Dengan sistem budidaya vertikal, sangat memungkinkan untuk melakukan intensifikasi. Bayangkan, di sebuah kaleng Kasino membuat 45 lubang tanam. Padahal, di luasan 1 m2 ia membuat 4 susun vertikultur. Satu susun terdiri atas 10 kaleng. Oleh karena itu jumlah lubang tanam dalam 4 susun mencapai 1.800 buah.

Dari 4 susun vertikultur di lahan 1 m2, ia memetik rata-rata 20 kg seledri. Sekilo seledri terdiri atas 4 rumpun tanaman yang masing-masing terdiri atas 10 tangkai. Di pasaran harga 3 tangkai seledri Rp1.000, sehingga Kasino memperoleh minimal Rp266.000. Bandingkan dengan produktivitas seledri yang dibudidayakan secara konvensional. Menurut Husin Kusnadi, pekebun sayuran di Bandung, produktivitas seledri rata-rata 8 kg per m2. dengan harga jual Rp4.000 per kg, pendapatannya hanya Rp32.000. Artinya, produktivitas seledri vertikultur lebih tinggi daripada seledri konvensional.

Menurut Dr Agus Suryanto, ahli budidaya tanaman Universitas Brawijaya Malang, vertikultur berproduksi tinggi amat wajar sepanjang pasokan nutrisi terpenuhi. Sumber hara di kaleng bekas itu amat terbatas. Oleh karena itu pekebun vertikultur menambahkan pupuk untuk mencukupi kebutuhan unsur hara bagi tanaman. Dengan penambahan pupuk itulah produktivitas sayuran vertikultur tetap tinggi.

Selain menghemat lahan, metode itu juga minim perawatan. Untuk penyiraman, cukup memutar kran. Campuran air dan nutrisi di tandon yang posisinya lebih tinggi daripada susunan vertikultur mengalir ke pot teratas. Kasino menutup permukaan atas setiap pot tertinggi dan membuat puluhan lubang berdiameter 2 mm. Larutan nutrisi mengalir ke pot di bawahnya, begitu seterusnya hingga pot paling dasar. Dalam sehari larutan nutrisi diberikan 3 kali, sebanyak 2,5 l. ‘Dengan cara ini bisa menghemat air yang terbuang sampai 100 kali lipat,’ tambah Kasino.

Hemat
Nutrisi pertumbuhan terbuat dari gula dan unsur-unsur lain yang difermentasi selama sepekan. Kasino memasukkan campuran 1 liter nutrisi ke dalam 20 liter air. Cairan itu berfungsi sebagai sumber unsur hara yang diperlukan tanaman untuk tumbuh. Hasilnya, pertumbuhan lebih cepat, panen lebih cepat, dan produksi meningkat. Walau dalam 1 kaleng ditanami puluhan tanaman, tidak akan terjadi kompetisi, karena unsur hara yang diperlukan sangat melimpah.

Kasino menuturkan biaya produksi untuk membuat satu rangkaian vertikultur terdiri atas 10 pot hanya Rp30.000. Biaya lainnya hanya untuk perawatan. ‘Tidak sampai Rp5.000 per kaleng, karena semua peralatan dan media tanam bisa digunakan lagi,’ kata Dadang. Media tanam bisa digunakan sampai 3 kali penanaman. Namun, menurut Sunandi Kertawijaya, pekebun vertikultur di Bandung, Jawa Barat, budidaya bertingkat lebih mahal. ‘Semua alat kan harus dibeli, termasuk nutrisi untuk tanaman. Budidaya konvensional, semuanya sudah tersedia di tanah,’ ujar Sunandi.

Keuntungan lain? Pekebun dapat mengatur waktu panen. Padi misalnya. Jika di sawah hanya 2 kali panen dalam setahun, dengan vertikultur bisa diatur sampai 5 kali panen. Dengan kelebihan itu wajar jika Kasino dan Dadang berencana melebarkan lagi kebunnya. (Lani Marliani/Peliput: Nesia Artdiyasa)

1 komentar: